Nilai Pengorbanan

Insan Teratai
Oktober 8, 2020
 Views

Ketika mengikuti perkembangan dalam dunia pendidikan pada masa pendemi Covid 19 ini, banyak tantangan yang muncul. Tantangan-tantangan yang dihadapi ini tidak hanya dialami oleh siswa tetapi juga oleh para guru yang harus mencari media untuk bisa membangun proses pembelajaran dengan siswa/siswi. Para guru dan praktisi pendidikan berusaha untuk berkreasi di tengah hantaman pandemi ini karena jika terjadi “kematian kreasi” maka siswa-siswi yang dilayani merasa berada pada wilayah terasing dan sulit untuk dijangkau. Pada saat memulai kreasi  dengan berbasis pada media maka menjadi persoalan adalah, sudah siapkah  infrastruktur yang berkaitan dengan alat dan koneksi internet?

Banyak ceritera datang dari daerah-daerah yang tidak memiliki handphone. Maklum, bahwa dengan memiliki handphone yang menjadi sarana dalam proses pembelajaran bagi orang kampung, sulit dijangkau. Namun seorang ibu yang berada di pelosok negeri ini berusaha membeli handphone demi anaknya yang kini sedang duduk di bangku sekolah dasar. Untuk bisa memperoleh handphone, seorang ibu harus menjual seekor kambing dan hasil jualan itu dibelikan sebuah handphone. Pengorbanan seorang ibu ini memperlihatkan sebuah bentuk perhatian  akan masa depan anaknya. Sebelum terjadi pandemi,  mereka hidup apa adanya, tanpa harus bergantung pada handphone, namun dalam kondisi seperti ini handphone menjadi sarana penting bagi anaknya yang sedang terlibat dalam kancah pendidikan.

Cerita lain lagi datang dari guru pelosok. Mereka bergerak untuk mengajari anak-anak dari rumah ke rumah karena tidak ada jaringan internet. Guru-guru pelosok bergerak dalam sunyi sebagai cara sederhana mencerdaskan anak-anak yang sulit dijangkau oleh jaringan internet. Pergerakan mereka (para guru pelosok) seakan mengabaikan resiko yang muncul akibat penyebaran virus corona ini. Dedikasi para guru dengan mengajari anak-anak dari rumah ke rumah di masa pandemi ini  menjadi titik pergulatan seorang guru. Berdiam diri di rumah berarti proses pembelajaran di kampung-kampung tidak berjalan. Karena itu mereka bergerak agar perhatian dan keberpihakan pada anak-anak terpencil terpenuhi.

Dua kondisi yang dialami oleh guru pelosok dan upaya heroik seorang ibu di atas, masih bersinggungan dengan kondisi yang terjadi di sekolah-sekolah di kota-kota. Pengalaman yang dialami oleh para guru di SD Insan Teratai saat melakukan pembelajaran jarak jauh di tengah terpaan pandemi ini, ada banyak kendala yang muncul. Di satu sisi, guru dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik dengan mengedepankan basis media, tetapi menemui kendala yang ada pada siswa-siswi. Mereka (kebanyakan siswa) memiliki handphone biasa sehingga sulit untuk bisa digunakan dalam proses pembelajaran. Semua tugas hanya dikirim ke WhatsApp dan  beberapa guru mencoba untuk memulai menggunakan video pembelajaran, tetapi banyak orang tua keberatan karena durasi video yang panjang dan hal ini menguras kuota internet.

Dari persoalan yang sedang dihadapi oleh para guru di Insan Teratai, membuka ruang diskursus untuk bagaimana guru-guru bisa berkembang dan kreatif di tengah hantaman pandemi ini. Apakah guru harus menyerah dengan situasi yang serba minim yang dialami oleh siswa-siswi? Ketika guru-guru bertahan dan mengamini situasi ini maka guru tidak akan berkembang dan tidak kreatif dalam membangun jaringan pembelajaran dengan berbasis pada media online.

Di sini perlu ada kolaborasi yang mendukung terciptanya sebuah proses pembelajaran yang baik. Tanpa kolaborasi yang produktif maka akan terjadi kepincangan dalam proses pembelajaran. Perlu adanya pengorbanan dari orang tua untuk bisa menyediakan sarana untuk mendukung proses pembelajaran. Seperti seorang ibu dari pelosok desa yang harus menjual seekor kambing untuk membeli handphone demi tujuan yang mulia, mendukung proses pendidikan anaknya.       

Memang, untuk mencapai keberhasilan dalam dunia pendidikan mesti melalui proses panjang. Dan dalam rentang proses panjang itu, ada hambatan-hambatan yang mengganjal tetapi hambatan itu bukan menghentikan “mimpi” akan sebuah kesuksesan dalam kancah pendidikan. Hambatan yang terjadi dalam proses pendidikan mesti dihadapi dan dilalui karena hanya dengan cara itu, kita berusaha untuk menggenggam masa depan yang telah dicita-citakan.***(Valery Kopong)